FILE DOC SUKU SAMIN rumah adat , makanan, lagu , tari , cerita rakyat
Suku Samin
Suku samin adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.
Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.
Suku Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah
Ajaran Samin
Paham Saminisme dinamakan "Agama Nabi Adam". Ajaran Saminisme yang terwariskan hingga kini sebenarnya mencuatkan nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebersamaan, keadilan, dan kerja keras.
Ajaran Samin ada 3 yaitu:
1. Angger-angger pangucap (hukum bicara)
2. Angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk)
3. Angger-angger lakonono (hukum perihal yang perlu dijalankan).
Ajaran Samin ada 3 yaitu:
1. Angger-angger pangucap (hukum bicara)
2. Angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk)
3. Angger-angger lakonono (hukum perihal yang perlu dijalankan).
Konsep Ajaran Samin
Pengikut ajaran Samin mempunyai 6 ajaran, yaitu:
1.Tidak bersekolah
2.Tidak memakai peci, tapi memakai “iket”, yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala
3.Tidak berpoligami
4.Tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut
5.Tidak berdagan,
6.penolakan pada kapitalisme
Karakteristik masyarakat samin
- Sikap orang samin Secara umum,
perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis. Mereka
tidak suka mengganggu orang lain, tidak suka bertengkar, tidak suka iri
hati, dan juga tidak suka mengambil hak milik orang lain. Sikap-sikap
tersebut sangat dipegang teguh oleh orang-orang samin karena sudah ada
dalam ajran orang samin. Orang samin cenderung bersikap sabar dan tidak
sombong. Dalam pelajaran orang samin apabila berbicara harus bisa menjaga
mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang
karena dalam perdagangan dapat unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh
menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Dalam hubungan ketetanggaan
orang-orang samin begitu menjaga kekerabatannya, orang samin bersikap baik
kepada tetangga-tetangganya.
Selain sikap-sikapnya yang positif
tersebut, suku samin juga mempunyai sikap-sikap yang negative. Sikap-sikap
tersbut antara lain yaitu :
·
menolak
membayar pajak
·
mengisolasi
diri
·
mudah curiga
pada pendatang
·
suka
membantah dengan cara yang tidak masuk akal
orang samin memiliki karakteristik
yang polos tetapi kritis dan juga tidak suka terhadap kekerasan sehingga ketika
menghadapi orang samin sebaiknya kita tidak melakukannya dengan kekerasan.
Berbeda
dengan Rumah Adat Blora, Rumah
Adat Samin Surosentiko Blora memiliki beberapa ciri dan
keunikan. Pertama; rumahnya sederhana. Sebab, berbahan dasar kayu, getingnya
biasa dan dindingnya masih kayu bahkan masih ada sebagian yang berbahan dasar
bambu atau dalam bahasa Jawa disebut gedhek (baca: Gedhek).
Kedua; alas
Rumah Adat Samin Surosentiko masih sederhana karena beralaskan tanah. Ketiga;
di rumah mereka juga ada makanan ternak seperti jerami atau dami dalam
bahasa Jawa. Keempat; semua properti rumah sangat sederhana, ruang tamu, kursi,
tempat tidur semua sederhana.
Rumah Adat Samin Surosentiko Blora sebenarnya tak jauh berbeda dengan Rumah Adat
Samin Kudus, Rumah Adat Samin Pati, Rumah Adat Samin yang lainnya yang tersebar
di Indonesia.
Jika Anda
berkunjung ke perkampungan Samin, di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur,
Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, di sekitar Pendopo Samin atau di sekitar
rumah Mbah Lasio, Anda akan menjumpai perkampungan Samin yang masih asri,
berbalut pedesaan, alamiah dan bernuansa asri.
Rumah Adat Samin Surosentiko Blora merupakan salah satu rumah yang unik. Bahkan, beberapa
waktu lalu, Presiden Joko Widodo berkunjung ke perkampungan Samin yang berada
di Klopoduwur Blora. Ini merupakan wujud bahwa Rumah Samin Surosentiko atau ajaran
Samin masih dihargai dan dihormati manusia Indonesia, terutama Presiden Jokowi
sebagai orang nomor satu di negeri ini. (Laporan Khusus Redaksi
Harianblora.com).
Tarian-tarian
Suku Samin
1. Tari –
Tarian
Terdapat
banyak tari-tarian dalam Suku Samin seperti tari tayub, tari gembyongan dan
tari barongan. Tari tayup, adalah tari pergaulan yang popular bagi masyarakat
Samin.Tarian ini biasanya dilakukan oleh pria yang diiringi gamelan dan tembang
jawa yang dilantunkan oleh Waranggono yang syairnya berisi tentang ajaran dan
petuah. Gelar tayup biasanya diadakan oleh orang yang punya hajad dan biasanya
untuk acara perkawinan atau biasa disebut ‘ngantenan’dan sunatan. Pemain Tari
tayup berasal dari luar desa Klopoduwur Blora, jadi sekarang kalau mau nanggap
gelar tayup biasanya melalui telepon. Selain nanggap gelar tayup, biasanya juga
nanggep karawitan, ketoprak, barongan, tari gamboyang dan ngadroh.
Tari
Gambyongan biasanya dimainkan oleh perempuan dan diiringi oleh alat musik yang
dimainkan oleh para lelaki. Tidak ada lagu khusus, jadi biasanya lagu sesuai
dengan permintaan seperti campur sari, dangdut, dll. Ada juga yang namanya
ngadroh, Khadroh itu bukan tarian melainkan seperti nyinden dan diiringi oleh
pengiring laki-laki yang memainkan alat musiknya.
Tari Tayub
Tari Gambyong
Tari Barongan
Makanan Khas Suku Samin
Tiwul dan Menu Pelengkapnya sebagai Makanan Berbasis Kearifan Lokal Suku
Samin
Indonesia terdiri dari beragam suku yang
tersebar hingga pedalaman di setiap 33 provinsi. Antar budaya tentu
mempunyai adat dan budaya yang khas dalam kehidupan sehari-hari termasuk cara
memenuhi kebutuhan pangan. Salah satunya adalah masyarakat Suku Samin.
Masyarakat Suku Samin yang berada di pedalaman Kabupaten Blora Jawa Tengah
mempunyai salah satu cara unik untuk mencegah kelaparan di musim paceklik yaitu
dengan memanfaatkan ketela pohon (singkong) sebagai makanan pokok. Singkong
yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau ubi kayu adalah pohon tahunan
tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Umbinya dikenal
luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.
Umbi akar singkong banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan mentah. Umbi
yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi akar
yang masih segar.
Ketela pohon merupakan umbi-umbian yang
ramah lingkungan karena dapat tumbuh dengan mudah.Bahkan seringkali tumbuh
begitu saja di pekarangan rumah.Untuk masyarakat Samin sendiri memanfaatkan
umbi ketela pohon (singkong) menjadi gaplek yang biasanya mereka simpan di
karung sebagai stock makanan pokok.
Gaplek adalah bahan makanan yang diolah
dari umbi ketela pohon atau singkong. Prosesnya sangat mudah, umbi singkong
yang telah dipanen kemudian dikupas dan dikeringkan. Gaplek yang telah kering
kemudian bisa ditumbuk sebagai tepung tapioka yang bisa dibuat bermacam-macam
kue. Tepung tapioka dari gaplek selanjutnya bisa dibuat menjadi nasi tiwul yang
gurih. Nasi tiwul sangat populer di masyarakat yang hidup di pegunungan
termasuk bagi Suku Samin (Iptek, 2009).
Tepung tapioka hasil tumbukan gaplek
tersebut selanjutnya di buat menjadi nasi tiwul. Bagi masyarakat Suku Samin
nasi tiwul adalah salah satu makanan favorit mereka.Karena selain rasanya gurih
proses pembuatannya juga cukup sederhana.Masyarakat Suku Samin biasanya
menikmati Nasi Tiwul dengan sayur mrica dari ikan tongkol yang merupakan salah
satu makanan khas kabupaten Rembang.Tak jarang juga mereka menikmati dengan
sayur daun singkong dan ikan tongkol.
Daun singkong yang lebih dikenal sebagai
sumber mineral zat besi pada kenyataannya memilki kandungan kalsium yang cukup
tinggi yaitu 165 mg per 100 gram. Kalsium merupakan mineral yang paling banyak
terdapat dalam tubuh, yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau kurang
lebih 1 kg. Dari jumlah ini, 99% berada di dalam jaringan keras, yaitu tulang
dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}. Di dalam
cairan ekstraselular dan intraselular kalsium memegang peranan penting dalam
mengatur fungsi sel, seperti untuk transmisi saraf, kontraksi otot,
penggumpalan darah dan menjaga permeabilitas membran sel. Kalsium mengatur
pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan.
Sedangkan ikan tongkol sendiri mengandung
zat gizi yang berguna bagi tubuh antara lain kalori, protein, lemak, dan zat
besi.Jika ditinjau dari nilai gizi makanan kegemaran Suku Samin ini sudah cukup
mengandung berbagai zat gizi yang bervariasi. Hal itu tentunya sangat berguna
bagi kesehatan masyarakat Suku Samin sendiri dan perlu untuk tetap dilestarikan
agar mengurangi tingkat defisit energi di masyarakat tersebut.
Lagu lagu dari jawa tengah:
Cublak-cublak
suweng
Gek kepriye
Jamuran
Padhang
wulan
Bapak pucung
Kisah seputar suku samin
NGGENDHENG SEBAGAI SENJATA
MELAWAN BELANDA
ARI CERITA RAKYAT –yang sering berbau mitos– mengenai turunnya wangsit ratu adil bagi Samin Suråsentikå, Profesor Suripan melihat betapa besar penghormatan –dan juga kepatuhan– warga Samin, terutama di Desa Tapelan, Ploso Kedhirèn, dan Tanjungsari, kepada pemimpinnya.
Ki Samin dianggap orang suci dan pemimpin yang
karismatis. Dalam bentuk gelar Prabu Suryå Ngalam yang mereka berikan, ia
dipandang bagaikan “cahaya terang yang menyinari dunia”, yang datang menerangi
kegelapan hati orang Samin, khususnya di Desa Tapelan, yang telah kehilangan
pegangan pada zaman pemerintah kolonial Belanda.
Pada zaman itu, kata mereka, orang Samin sangat menderita. Mereka dipaksa membayar pajak. Mereka dipaksa ikut blandhongan, melakukan kerja rodi atau kerja paksa sebagai penebang dan pengangkut kayu di hutan jati. Kalau menolak, mereka akan didatangi pamong desa atau pelpulisi, polisi pemerinah Hindia Belanda. Mereka ditangkap dan disiksa. Banyak tanah pertanian mereka dirampas untuk ditanami jati.
Perlakuan kejam itu mengakibatkan mereka mengalami kekurangan pangan. Badan mereka kurus-kurus. Mereka tak punya keberanian melawan, karena tak punya semangat dan senjata. Padahal, tanah yang mereka miliki rata-rata juga tak begitu layak untuk bertani.
Tapelan, misalnya, adalah desa yang “tandus. Bila musim hujan, air yang tercurah dari langit tidak meresap ke dalam tanah, tapi terus mengalir ke… kali kecil di sekitarnya, dan kemudian bermuara di Bengawan Sålå. Hal ini disebabkan oleh… struktur tanah desa… terdiri… tiga lapis… atas… tanah liat, pasir, dan sedikit kapur… tengah… tanah padas… bawah… batu-batuan. Struktur tanah yang demikian ini tentu saja tidak menguntungkan pertanian,” tulis Profesor Suripan.
Karena itu, tidak salah apa yang disimpulkan oleh Dr. C.L.M. Penders bahwa “Tampak jelas Gerakan Samin terutama berakar pada kekecewaan ekonomi. Kawasan tempat kebanyakan orang Samin tinggal, tanah kapur liat tak teririgasi di Bojonegoro dan Blora, demikian miskin.”
Potensi pertaniannya jauh lebih rendah ketimbang banyak daerah lain dan karena pajak yang terus dinaikkan serta usaha peningkatan kesejahteraan yang umumnya tidak dikehendaki seperti pendidikan, lumbung desa, dan bibit sapi yang didatangkan dari luar negeri, beban para petani ini kian berat.
Ki Samin menolak membayar pajak dan tidak melaksanakan apa pun yang diperintahkan oleh pemerintah agar rakyat mengerjakannya, termasuk pelayanan atas kaum feodal (heeren-diensten), dan tugas desa.
“Dhèk jaman Låndå niku, njaluk pajeg mboten trimå sak legané, nggih mboten diwèhi. Blas mboten seneng. Ndandani ratan nggih bébas, gak gelem, wis dibébasaké. Kenèk jågå, yå ora nyang, jågå omahé dhéwé. Nyengkah ing negårå, telung taun dikenèki kerjå pekså” (Pada zaman Belanda itu, penarikan pajak tidak hanya seikhlasnya, ya tidak dibayar. Sama sekali tidak senang. Memperbaiki jalan juga bebas, tidak mau, sudah dibebaskan. Kena ronda, ya tidak berangkat, menjaga rumah sendiri. Melawan negara itu dikenai kerja paksa tiga tahun), kata tradisi lisan Tapelan, mengenang civil disobedience (pembangkangan madani) terhadap pemerintah seperti yang diajarkan Ki Samin.
Pembangkangan madani itu dianjurkan oleh Ki Samin dengan alasan, seperti ditulisnya dalam Layang Punjer Kawitan, Tanah Jåwå ini bukan milik Belanda, melainkan titipan Prabu Puntådéwå kepada Sunan Kalijågå. Berpedoman keyakinan akan kepemilikan tanah serta segala yang ada di dalam dan permukaannya itu, ia dan pengikutnya seenaknya saja menebangi pohon jati yang sebelumnya ditanam oleh Belanda melalui progam Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
Kewajiban mempertahankan tanah air ini –yang dalam tradisi Jåwå, khususnya wong Blora, diungkapkan dalam ibarat “sakdumuk bathuk saknyari bumi” yang secara bebas setara dengan “membela negeri sampai titik darah penghabisan”, — merupakan tujuan perjuangan pasif Ki Samin, yang oleh cendekiawan Australia Dr. C.L.M. Penders, seperti yang digunakan sebagai judul bab ketujuh bukunya yang khusus membicarakan Gègèr Samin, disebut nationalism (semangat kebangsaan).
Lebih jauh tentang sikap politik ini, dalam Serat Pikukuh Kasajatèn, Kiai Samin mengajar dalam metrum Dhudhukwuluh atau Megatruh :
Pada zaman itu, kata mereka, orang Samin sangat menderita. Mereka dipaksa membayar pajak. Mereka dipaksa ikut blandhongan, melakukan kerja rodi atau kerja paksa sebagai penebang dan pengangkut kayu di hutan jati. Kalau menolak, mereka akan didatangi pamong desa atau pelpulisi, polisi pemerinah Hindia Belanda. Mereka ditangkap dan disiksa. Banyak tanah pertanian mereka dirampas untuk ditanami jati.
Perlakuan kejam itu mengakibatkan mereka mengalami kekurangan pangan. Badan mereka kurus-kurus. Mereka tak punya keberanian melawan, karena tak punya semangat dan senjata. Padahal, tanah yang mereka miliki rata-rata juga tak begitu layak untuk bertani.
Tapelan, misalnya, adalah desa yang “tandus. Bila musim hujan, air yang tercurah dari langit tidak meresap ke dalam tanah, tapi terus mengalir ke… kali kecil di sekitarnya, dan kemudian bermuara di Bengawan Sålå. Hal ini disebabkan oleh… struktur tanah desa… terdiri… tiga lapis… atas… tanah liat, pasir, dan sedikit kapur… tengah… tanah padas… bawah… batu-batuan. Struktur tanah yang demikian ini tentu saja tidak menguntungkan pertanian,” tulis Profesor Suripan.
Karena itu, tidak salah apa yang disimpulkan oleh Dr. C.L.M. Penders bahwa “Tampak jelas Gerakan Samin terutama berakar pada kekecewaan ekonomi. Kawasan tempat kebanyakan orang Samin tinggal, tanah kapur liat tak teririgasi di Bojonegoro dan Blora, demikian miskin.”
Potensi pertaniannya jauh lebih rendah ketimbang banyak daerah lain dan karena pajak yang terus dinaikkan serta usaha peningkatan kesejahteraan yang umumnya tidak dikehendaki seperti pendidikan, lumbung desa, dan bibit sapi yang didatangkan dari luar negeri, beban para petani ini kian berat.
Ki Samin menolak membayar pajak dan tidak melaksanakan apa pun yang diperintahkan oleh pemerintah agar rakyat mengerjakannya, termasuk pelayanan atas kaum feodal (heeren-diensten), dan tugas desa.
“Dhèk jaman Låndå niku, njaluk pajeg mboten trimå sak legané, nggih mboten diwèhi. Blas mboten seneng. Ndandani ratan nggih bébas, gak gelem, wis dibébasaké. Kenèk jågå, yå ora nyang, jågå omahé dhéwé. Nyengkah ing negårå, telung taun dikenèki kerjå pekså” (Pada zaman Belanda itu, penarikan pajak tidak hanya seikhlasnya, ya tidak dibayar. Sama sekali tidak senang. Memperbaiki jalan juga bebas, tidak mau, sudah dibebaskan. Kena ronda, ya tidak berangkat, menjaga rumah sendiri. Melawan negara itu dikenai kerja paksa tiga tahun), kata tradisi lisan Tapelan, mengenang civil disobedience (pembangkangan madani) terhadap pemerintah seperti yang diajarkan Ki Samin.
Pembangkangan madani itu dianjurkan oleh Ki Samin dengan alasan, seperti ditulisnya dalam Layang Punjer Kawitan, Tanah Jåwå ini bukan milik Belanda, melainkan titipan Prabu Puntådéwå kepada Sunan Kalijågå. Berpedoman keyakinan akan kepemilikan tanah serta segala yang ada di dalam dan permukaannya itu, ia dan pengikutnya seenaknya saja menebangi pohon jati yang sebelumnya ditanam oleh Belanda melalui progam Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
Kewajiban mempertahankan tanah air ini –yang dalam tradisi Jåwå, khususnya wong Blora, diungkapkan dalam ibarat “sakdumuk bathuk saknyari bumi” yang secara bebas setara dengan “membela negeri sampai titik darah penghabisan”, — merupakan tujuan perjuangan pasif Ki Samin, yang oleh cendekiawan Australia Dr. C.L.M. Penders, seperti yang digunakan sebagai judul bab ketujuh bukunya yang khusus membicarakan Gègèr Samin, disebut nationalism (semangat kebangsaan).
Lebih jauh tentang sikap politik ini, dalam Serat Pikukuh Kasajatèn, Kiai Samin mengajar dalam metrum Dhudhukwuluh atau Megatruh :
Nagårantå niskålå andugå arum
apråjå mulwikèng gati
gèn ngaub miwah sumungku
tur iyå anggemi ilmu
rukun(w)argå tan ånå blekuthu
apråjå mulwikèng gati
gèn ngaub miwah sumungku
tur iyå anggemi ilmu
rukun(w)argå tan ånå blekuthu
(Negara Anda niscaya akan harum,
pemerintahan yang membuahkan tanda waktu, untuk bernaung dan bersandar, apalagi
rakyatnya suka ilmu, rukun tanpa gangguan apa pun);
dan dalam metrum Dandanggulå :
Pramilå sasåmå kang dumadi
mikani rèh papaning sujånå
supåyå tulus pikukuhé
angrenggå jagat agung
lelantaran mangun sukapti
limpadé kang sukarså
wiwåhå angayun
sukå bukti mring prajèngwang
pananduring mukti kapti amiranti
dilah kandhiling satyå
mikani rèh papaning sujånå
supåyå tulus pikukuhé
angrenggå jagat agung
lelantaran mangun sukapti
limpadé kang sukarså
wiwåhå angayun
sukå bukti mring prajèngwang
pananduring mukti kapti amiranti
dilah kandhiling satyå
(Maka sesama makhluk Tuhan, memahami
hukum dari cendekiawan, supaya tulus pegangannya, menghiasi alam semesta,
melalui niat yang baik, kecendekiaan yang menyenangkan, bak pengantin
berkeinginan, suka berbakti pada negerinya, ingin memasak makanan yang siap
dengan bumbunya, dian penyulut kesetiaan).
Itulah strategi politik Ki Samin, yang dalam pandangan
Profesor Suripan, didasarkan pada budaya Jåwå yang religius, bukan pesimistis,
melainkan penuh kreativitas dan keberanian, sekaligus membuktikan Kiai Samin
Suråsentikå itu berpengetahuan luas dan memahami budaya serta watak bangsanya.
Perlawanan ini pada umumnya pasif dan ketika ditekan oleh pejabat pemerintah, kadang-kadang pajak dibayar dalam bentuk “sumbangan”.
Dalam keadaan seperti itu, Ki Samin mendirikan Peguron Adam (Perguruan Adam) di Desa Klopodhuwur, tempat ia tinggal. Ia menamai perguruannya demikian, karena “punjer kawitan” (awal mula umat manusia) itu memang Nabi Adam. Ajarannya pun disebutnya agåmå Adam, ajaran yang pertama kali dianut dan diajarkan oleh Nabi Adam.
Selain mengajarkan ajaran etika tentang peri laku hidup baik dunia dan akhirat, Kiai Samin Suråsentikå juga mengajarkan cara melawan pemerintah kolonial. Mengingat penduduk tidak memiliki semangat dan senjata, ia mengajak mereka nggendheng atau pura-pura gila (ngédan) atau pura-pura bersifat aneh.
Dapat dipastikan ajaran ini merupakan pengejawantahan sederhana anjuran dalam Serat Kalatidhå karya Rånggåwarsitå:
Perlawanan ini pada umumnya pasif dan ketika ditekan oleh pejabat pemerintah, kadang-kadang pajak dibayar dalam bentuk “sumbangan”.
Dalam keadaan seperti itu, Ki Samin mendirikan Peguron Adam (Perguruan Adam) di Desa Klopodhuwur, tempat ia tinggal. Ia menamai perguruannya demikian, karena “punjer kawitan” (awal mula umat manusia) itu memang Nabi Adam. Ajarannya pun disebutnya agåmå Adam, ajaran yang pertama kali dianut dan diajarkan oleh Nabi Adam.
Selain mengajarkan ajaran etika tentang peri laku hidup baik dunia dan akhirat, Kiai Samin Suråsentikå juga mengajarkan cara melawan pemerintah kolonial. Mengingat penduduk tidak memiliki semangat dan senjata, ia mengajak mereka nggendheng atau pura-pura gila (ngédan) atau pura-pura bersifat aneh.
Dapat dipastikan ajaran ini merupakan pengejawantahan sederhana anjuran dalam Serat Kalatidhå karya Rånggåwarsitå:
amenangi jaman édan
ewuh åyå ing pambudi
melu édan ora tahan
yèn tan melu anglakoni
båyå kaduman milik
kaliren wekasanipun
dilalah kerså Ållåh
begjå-begjané kang lali
luwih bejå kang eling lan waspådå
ewuh åyå ing pambudi
melu édan ora tahan
yèn tan melu anglakoni
båyå kaduman milik
kaliren wekasanipun
dilalah kerså Ållåh
begjå-begjané kang lali
luwih bejå kang eling lan waspådå
(Mengalami zaman
gila, sukar-sulit dalam akal-ikhtiar. Turut gila tidak tahan. Kalau tak turut
menjalaninya, tidak kebagian milik, kelaparan akhirnya. Takdir kehendak Ållåh.
Sebahagia-bahagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar dan waspada).
Sesuai dengan Layang Jamus Kalimåsådå, menurut Ki Samin, nggendheng itu sifat Prabu Puntådéwå. Ini agak sulit dimengerti, secara umum sulung Pandhåwå itu dikenal sebagai orang yang jujur dan apa adanya. Mungkin inilah cara Ki Samin menerjemahkan sifat lugu itu menjadi senjata untuk melawan.
Orang sekarang yang mengerti Saminisme mungkin hanya akan menyatakan, “Itulah logika Samin!” Baginya, wayang dan sejarah itu memang tidak berbeda dan merupakan kesinambungan. Rantai kontinyuitas ini ialah pertemuan antara Puntådéwå dan Sunan Kalijågå di hutan Glagah Wangi, Bintårå, Demak.
Pertemuan ini ditulis dalam bagian pertama naskah måcåpat berbahasa-huruf Jåwå, Serat Sriyånå, tepatnya pada halaman 1-57. Hanya saja, dalam manuskrip ini Puntådéwå disebut Yudhistirå, yang anehnya dengan gelar Prabu Darmåwångså. “Setelah (mendapatkan) banyak ajaran mengenai Islam, Darmåwångså akhirnya meninggal dengan tentrem. Jenazahnya dikuburkan di Glagah Arum, dan masih bisa dilihat di sana.” Begitu ditulis dalam Serat Sriyånå.
Pengaitan “othak-athik mathuk” seperti menata jigsaw puzzle ini tak pelak lagi dilakukan oleh Rånggåwarsitå ketika menyusun pakem (induk cerita) wayang, yang dimulai dengan Serat Paråmåyogå pada tahun 1884, berlanjut dengan serial Serat Puståkå Råjå –Purwå, Madyå, Anatårå, dan Wasånå– serta Serat Cemporèt, sebagaimana cara yang dipraktikkan pendahulunya dalam menyusun Babad Tanah Djawi.
Bagi Ki Samin, yang rupanya rajin membaca karya Rånggåwarsitå tersebut, wayang itu juga sejarah. Ini tecermin dari ceramahnya di tanah lapang Desa Bapangan, Blora, pada hari Kamis Legi 7 Februari 1889.
“Gur tamèh éling bilih sirå kabèh horak sanès turun Pand(h)åwå, lan huwis nyipati kabrokalan krandhah Måjåpahit sakèng kakragé wadyå musuh. Mulå sakawit biyèn kålå nirå Puntådéwå titip Tanah Jåwå marang hing Sunan Kalijågå” (Ingatlah bahwa kalian itu tak lain dan tak bukan adalah keturunan Pandhåwå, yang sudah mengetahui kehancuran keluarga Måjåpahit yang disebabkan oleh serangan musuh. Maka dari itu, sejak peristiwa tersebut, Puntådéwå menitipkan Tanah kepada Sunan Kalijågå. Itulah yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan), katanya dalam sesorah itu.
Sesuai dengan Layang Jamus Kalimåsådå, menurut Ki Samin, nggendheng itu sifat Prabu Puntådéwå. Ini agak sulit dimengerti, secara umum sulung Pandhåwå itu dikenal sebagai orang yang jujur dan apa adanya. Mungkin inilah cara Ki Samin menerjemahkan sifat lugu itu menjadi senjata untuk melawan.
Orang sekarang yang mengerti Saminisme mungkin hanya akan menyatakan, “Itulah logika Samin!” Baginya, wayang dan sejarah itu memang tidak berbeda dan merupakan kesinambungan. Rantai kontinyuitas ini ialah pertemuan antara Puntådéwå dan Sunan Kalijågå di hutan Glagah Wangi, Bintårå, Demak.
Pertemuan ini ditulis dalam bagian pertama naskah måcåpat berbahasa-huruf Jåwå, Serat Sriyånå, tepatnya pada halaman 1-57. Hanya saja, dalam manuskrip ini Puntådéwå disebut Yudhistirå, yang anehnya dengan gelar Prabu Darmåwångså. “Setelah (mendapatkan) banyak ajaran mengenai Islam, Darmåwångså akhirnya meninggal dengan tentrem. Jenazahnya dikuburkan di Glagah Arum, dan masih bisa dilihat di sana.” Begitu ditulis dalam Serat Sriyånå.
Pengaitan “othak-athik mathuk” seperti menata jigsaw puzzle ini tak pelak lagi dilakukan oleh Rånggåwarsitå ketika menyusun pakem (induk cerita) wayang, yang dimulai dengan Serat Paråmåyogå pada tahun 1884, berlanjut dengan serial Serat Puståkå Råjå –Purwå, Madyå, Anatårå, dan Wasånå– serta Serat Cemporèt, sebagaimana cara yang dipraktikkan pendahulunya dalam menyusun Babad Tanah Djawi.
Bagi Ki Samin, yang rupanya rajin membaca karya Rånggåwarsitå tersebut, wayang itu juga sejarah. Ini tecermin dari ceramahnya di tanah lapang Desa Bapangan, Blora, pada hari Kamis Legi 7 Februari 1889.
“Gur tamèh éling bilih sirå kabèh horak sanès turun Pand(h)åwå, lan huwis nyipati kabrokalan krandhah Måjåpahit sakèng kakragé wadyå musuh. Mulå sakawit biyèn kålå nirå Puntådéwå titip Tanah Jåwå marang hing Sunan Kalijågå” (Ingatlah bahwa kalian itu tak lain dan tak bukan adalah keturunan Pandhåwå, yang sudah mengetahui kehancuran keluarga Måjåpahit yang disebabkan oleh serangan musuh. Maka dari itu, sejak peristiwa tersebut, Puntådéwå menitipkan Tanah kepada Sunan Kalijågå. Itulah yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan), katanya dalam sesorah itu.
Comments
Post a Comment