FILE DOC SUKU BURU lengkap rumah,lagu,makanan, cetita rakyat,tari
Bahasa
Suku Buru
suku Buru
|
Suku Buru, adalah suatu kelompok etnis yang terdapat di
pulau Buru yang merupakan pulau terbesar kedua setelah pulau Seram di provinsi
Maluku Indonesia. Selain di pulau Buru mereka juga terdapat di beberapa pulau
lain di Maluku. Populasi suku Buru diperkirakan sebesar 35.000 orang.
Suku Buru, menyebut diri mereka
sebagai Gebfuka atau Gebemliar, yang berarti "orang dunia" atau
"orang tanah".
Bahasa
sehari-hari suku Buru adalah mengggunakan bahasa Buru. Bahasa
Buru termasuk kelompok bahasa Maluku Tengah dari bahasa
Malayo-Polynesian.
Bahasa Buru
memiliki 3 sub-bahasa (dialek), yaitu:
·
bahasa Rana, diucapkan oleh suku Rana, 5.000
penutur, selain bahasa Rana, suku ini juga memiliki dialek rahasia, yaitu
bahasa "Ligahan".
·
bahasa Masarete, diucapkan oleh suku Masarete
·
bahasa Sama Wae, diucapkan oleh suku Sama Wae
·
bahasa Fogi, diperkirakan sudah punah
sumber:
sumber
lain dan foto:
Rumah Adat Baileo
(Balai)

Baileo, dalam
Bahasa Indonesia memiliki arti Balai, merupakan tempat bermusyawarah dan
pertemuan rakyat dengan dewan rakyat, seperti saniri negeri dan dewan adat,
yang menunjukan bahwa sistem demokrasi sudah dikenal oleh rakyat lima-siwa
sejak dulu. Bangunan Baileo ini merupakan satu-satunya bangunan peninggalan
yang menggambarkan kebudayaan siwa-lima, karena itulah dipilih sebagai bangunan
yang dapat mewakiliki daerah provinsi Maluku.
LAGU DAERAH
Amansira
Oh... Amansira Tudalolale ana kami floline Tagal polo printa Fili fena
Indonesia Kami ana to Fil pulau buru kad...
Amansira Oh...
Amansira Tudalolale ana kami floline Tagal polo printa Fili fena Indonesia Kami
ana to Fil pulau buru kad...
“Tabuang Jauh”
Tabuang jauh jauh bagini Tapisah dari gunung deng tanjong Di tanah buru yang
manise Sio beta rindu ingin mau pu...
MAKANAN KHAS SUKU BURU
COLO-COLO
RUJAK
JIKUMERASA
1. Senjata
Tradisional SUKU BURU– Parang Salawaku

2. Senjata
Tradisional SUKU BURU– Kalawai

.
CERITA
DARI PULAU BURU
Dikepung keindahan dan didera tragedi, Buru adalah pulau yang
menjanjikan petualangan penuh kontradiksi.
Hampir setengah abad silam, Namlea hanyalah
dusun yang sunyi, hening, seolah habis digerayangi perompak. “Tak tampak
seorang pun di Namlea. Seperti dusun—kalau menggunakan ekspresi Melayu
lama—sedang dikalahkan garuda,“ tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Di
dusun pesisir itulah ratusan orang dibuang. Kaum komunis, atau yang dicap
komunis, mendarat di pantainya dengan sebuah kapal besar pada 1969. Di
pelabuhannya, Pram berlabuh sebagai tapol bersama ratusan orang lainnya.
Sosoknya pesakitan berwajah pucat dan berpipi tirus. Sebentar lagi, saya akan
merapat di pelabuhan yang sama.
Angin
barat bertiup, mengempas feri yang membawa saya dari Ambon. Ombak di Laut Banda
sedang mengamuk. Hati saya kecut memandang gulungan air. Laut ini juga yang
dulu hampir mengaramkan kapal berkarat ADRI XV yang mengangkut Pram dan 800
narapidana lainnya. Kini, Namlea ramai dan sibuk bak sebuah kota kecil. Ketika
kapal saya mendarat, pelabuhannya menyambut dengan cahaya suar yang semarak,
lampu-lampu yang melambai-lambai di langit subuh. Para penumpang turun dengan
mengangkut buntalan-buntalan dagangan. Mobil-mobil mewah keluar beriringan dari
lambung kapal. Koridor pelabuhan dijejali barang yang menggunung. Buru memasok
mayoritas kebutuhannya dari Ambon.
Saya menginap di sebuah hotel yang dihuni para
bidadari pesolek. Barang sebentar, pintu kamar saya diketuk perempuan bertubuh
sintal dan beraroma wangi. Niatnya sederhana: menawarkan jasa pijat yang
menggiurkan. Tentu saja, tidak gratis. “Itu harga su kasih murah, kakak,” seorang perempuan berkata
dengan dialek lemah gemulai yang dipaksakan. “Itu tidak sampai satu gram
emas, toh?” “Tapi saya bukan penambang,” kata saya menimpali.
Perempuan itu berlalu, namun tak berapa lama, perempuan sintal lainnya mengetuk
dan menawarkan jasa serupa. Namlea, pintu gerbang Buru, mencegah saya tertidur
di malam pertama.
Selamat datang di Buru, “a happy land somewhere,” tulis Pram dengan nada satir
ketika pertama kali menjejakkan kakinya di pulau kaum buangan yang sekarang
sibuk bersolek ini—sebuah transisi yang dipicu oleh penemuan emas tiga tahun
silam. Seperti kata wanita penggoda di hotel, emas memang telah menjadi ukuran
untuk banyak hal. Kilaunya telah mengubah drastis pamor pulau dengan sejarah
kelam ini.
Logam
mulia pula yang membiayai pembangunan masif di sini. Buru yang kelam barangkali
hanya tersimpan dalam catatan Pram. Di Namlea, jalan aspal mulus terentang.
Saat berkendara, saya bersisian dengan mobil-mobil mewah yang dikendarai sopir
dengan kemampuan mengemudi yang mencemaskan. Beberapa kali saya hampir
diseruduk. Di kiri dan kanan jalan, kontraktor sibuk mengerek rumah-rumah
besar. Sebagian telah rampung. Warna atap dan dindingnya menohok. Sejumlah
pusat perbelanjaan berdiri jemawa. Hotel tumbuh seperti cendawan di musim
hujan.
Kiri-kanan:
Lasinem, ke Pulau Buru mengikuti suaminya yang tapol. Kini ia menetap di pulau
tersebut; sirih pinang, sarana komunikasi sosial penduduk lokal.
Dari
Namlea, saya berkendara ke Kecamatan Waeapo, wilayah pengasingan orang-orang
buangan pasca-Gestapu. Waeapo berjarak sejam berkendara ke utara Namlea. Dari
atas kendaraan yang melaju kencang, sejauh mata memandang tampak perbukitan
yang ditumbuhi kayu putih dan merbau.
Inrehab.
Begitu pemerintah menyebut wilayah pengasingan di Waeapo. Sedangkan masyarakat
setempat menjulukinya “unit.” Di sinilah para tapol dulu meneroka belukar,
menggali saluran irigasi, menciptakan lahan-lahan pertanian. Berkah kerja keras
mereka barangkali kian terasa sekarang: Buru menjadi salah satu pemasok utama
beras untuk Maluku.
Seekor
nuri merah melintas di hadapan saya. Kicauannya bergema dalam sunyi. Saya kini
tiba di Desa Savana Jaya, masih bagian dari “unit.” Desa dengan rumah-rumah
kayu tua yang berjejer rapi. Di tengahnya ada gedung kesenian tua yang
berlantai tanah. Di sisi lainnya, sebuah gereja, dengan tiang menghitam dan
dinding compang-camping.
TARIAN SAWAT SUKU BURU

Tarian Sawat Buru
merupakan salah satu kekayaan Budaya kearifan membaur bersama keragaman etnis
dan budaya masyarakat yang mendiami kabupaten Buru menciptakan keunikan dalam
gelaran event Festival Pesona Bupolo 2016.
Tarian Sawat
adalah perpaduan dari budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. Pada beberapa abad
silam, bangsa Arab datang untuk menyebarkan agama Islam di Maluku, kemudian
terjadilah campuran budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti pada beberapa
alat musik Sawat, seperti rebana dan seruling yang mencirikan alat musik gurun
pasir.
Selain Tarian
Sawat ada Tarian yang Lebih Terkenal lagi di pulau Maluku yaitu Tarian Cakalele,
Tarian Cakalele menggambarkan keperkasaan orang Maluku. Tari ini biasanya
diperagakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku
(Perisai).
Ada juga Tarian
lain seperti Saureka-Reka yang menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang dilakukan
oleh enam orang gadis ini sangat membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil
diiringi irama musik yang sangat menarik. dan masih banyak lagi tarian lainnya,
Tarian Bambu Gila dan Tarian Katreji. Maluku kaya akan budaya dan kerukunan
umat beragama.
disini file doc nya
Comments
Post a Comment