FILE .DOC SUKU KLUET lengkap sifat ,rumah , makanan , tari , senjata , cerita rakyat


SUKU KLUET


ASAL USUL SUKU KLUET ACEH -  Kata Kluet merupakan Bahasa Aceh yang mempunyai arti "liar". Terdapat juga yang mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata kalut, yang mempunyai arti "bertapa" atau mengasingkan diri ke hutan. Bagi cerita pada waktu zaman kejayaan Kesultanan Aceh kala penduduk ini merupakan kelompok yang terisolasi. Di saat sekarang mereka tinggal di Aceh Selatan, terpusat di Kluet Utara dan Selatan.

Sejarah-suku-kluet
Menurut kesatuan teritorial genealogisnya masyarakat Kluet terbagi menjadi empat kemukiman, diantaranya kemukiman Menggamat dan Sejahtera di Kluet Utara, lalu di kemukiman Makmur dan perdamaian di Kluet Selatan. Setiap kemukiman dipimpin oleh seorang Mukim (seperti di Aceh). Penduduk ini sebagian besar memeluk agama Islam.

Bahasa Suku Kluet
Ada tiga dialek bahasa di Suku Kluet, diantaranya dialek Paya Dapur, Menggamat serta dialek Krueng Kluet. Bahasa Kluet juga terpengaruh dengan bahasa Aceh, Karo, Alas, Gayo serta Minangkabau.  

Sifat dan Karakter  Orang Kluet
Indonesia memiliki keragaman suku. Ada ratusan lebih suku yang ada di Indonesia, salah satunya adalah suku Kluet. Setiap suku memiliki karakteristik yang berbeda. Bicara tentang sifat-sifat suku yang ada di Indonesia, sifat orang Kluet memiliki sifat yang sangat khas dan kental. Sifat orang Kluet adalah baik, ramah, tidak kasar, suka menolong, menerima orang baru.

Orang Kluet ganteng, makin hari semakin banyak laki-laki suku Kluet berperawakan ganteng dan tampan, alhasil banyak artis yang bersuku Kluet. Artis Kluet di Indonesia mulai dari pemain film, penyanyi dan presenter.

Wanita Kluet juga banyak yang cantik, makanya suku lain mau menikahi wanita suku Kluet.

Karakter orang Kluet adalah Baik, penyayang, ramah, tidak kasar, mudah bergaul, suka menolong.

Jika ada menganggap orang Kluet itu jahat itu tidak benar. Karena pada dasarnya semua suku di Indonesia sangatlah baik.

Karena watak Orang Kluet (cewek-cowok) begitu menarik, maka orang Kluet pantas dijadikan jodoh.

Ciri khas orang Kluet yang mau membantu sesama manusia, menjadi daya pikat bagi semua orang untuk menerima kehadiran orang Kluet dijadikan sebagai saudara di tengah-tengah masyarakat dan negara.

Kesan negatif orang Kluet adalah hal yang paling ingin diketahui bagi mereka yang saat ini sedang bersama atau baru berteman dengan suku Kluet. Padahal kesan negatif itu muncul karena ada anggapan negatif yang berlebihan. Pada dasarnya, kesan positiflah yang selalu ada di suku Kluet.

Prinsip orang Kluet adalah hidup mandiri dan saling membantu orang lain.
Orang Kluet boleh menikah dengan suku lain, asal kedua pasangan saling mencintai satu sama lain.

Rumah Adat Kluet (Rungko)


Aceh Selatan News | Situs Sejarah –Rumah Adat Kluet (Rungko) yang terletak di Desa Koto Kluet Tengah didirikan pada tanggal 1 Januari 1861 oleh Raja Menggamat Imam Hasbiyallah Muhummad Teuku Nyak Kuto – keturunan pejuang Kluet Tgk. Imam Sabil yang pernah berperang melawan Belanda dalam Perang Lawe Melang Menggamat.
Sebelumnya Rumah adat Kluet atau Rungko juga pernah didirikan pada tahun 1914 dan selesai dikerjakan pada tahun 1916 dan diberikan nama Rumah Rungko oleh Raja T. Nyak Tia (1908-1938). Rumah Adat Kluet – Rungko ini selain tempat tinggal Raja juga berfungsi sebagai tempat perkara jika terjadi perselisihan dan sengketa dalam kehidupan rakyat Menggamat.
Pada dasarnya rumah rungko tidak jauh berbeda dengan rumah adat aceh pada umumnya, struktur bangunannya berupa rumah panggung, pintu kecil sementara ruangannya luas, Di beberapa sudut dan bagian rumah terukir ornament kluet asli.ukeh, berikut beberapa ornament yang merekat pada bangunan rumah rungko
Tarian Suku Kluet  

Sejarahnya versi pertama. Menurut keyakinan masyarakat Kluet, tarian Landok Sampot diciptakan oleh seorang Panglima Negeri Kluet yang bernama Amat Sa’id. Tarian ini mulai berkembang pada masa pemerintahan Raja Imam Balai Pesantun dan Teuku Keujreun Pajelo
Tarian Landok Sampot dijadikan tarian adat yang disakralkan dalam setiap upacara adat. Sayangnya penciptanya tidak sempat melihat karyanya dicintai masyarakat Kluet. Karena sebelum tarian ini berkembang, Ahmad Sa’id hilang dan tidak pernah kembali dari sebuah perjalanan di Gunung Lawe Sawah. Sehingga masyarakat menyebut gunung tersebut dengan nama Gunung Amat Sa’id. Sampai sekarang masyarakat setempat sering mengunjungi gunung tersebut untuk berziarah.



Mereka datang ke daerah Kluet ini selain mengubah nasib juga membawa kebudayaan mereka masing-masing terutama kesenian daerahnya.
Dalam mengadakan pertunjukan, di antara mereka terjadi perselisihan karena pertunjukan yang mereka bawa bertentangan dengan kesenian asli daerah Kluet.
Konon menurut beberapa penutur di daerah Kluet mengatakan tarian Landok Sampot mulanya dari latihan perang-perangan dengan menggunakan pedang yang dibuat dari sepotong bambu yang disebut sampot.
Selanjutnya permainan ini lama kelamaan berubah menjadi sebuah tarian. Tarian Landok Sampot merupakan suatu tarian kebesaran yang ditampilkan khusus pada upacara raja-raja yang dilakukan oleh bangsawan saja atau dengan kata lain hanya boleh dipentaskan untuk menghibur keturunanraja pada saat itu.




Tarian ini sangat unik kelihatannya dengan berbagai gerakan tangan dan hentakan kaki ke lantai/tanah yang menimbulkan suara serentak sekaligus kelincahan mempergunakan alat perang-perangan yang dibuat dari kayu/bambu.
Penampilannya yang terdiri dari landok, kedidi, kedayung, sembar kelukai dan permainan pedang.***
Senjata yang biasa digunankan adalah sebagai berikut:
1. Baluse
Baluse adalah perlengkapan utama seorang prajurit nias, Baluse merupakan Perisai atau pelindung yang dapat melindungi penggunanya dari serangan pedang dan tombak. Karena begitu populer nya Baluse bagi suku nias, Baluse pun kini dijadikan sarana atraksi budaya yaitu tari Baluse atau tari perang.
2. Pedang Tologu
Pedang Tologu adalah salah satu senjata tradisional nias. Pedang Tologu bukanlah sembarang pedang yang biasa kita ketahui, pedang Tologu di yakini memiliki kekuatan gaib yang dapat melindungi pemiliknya, kesaktian pedang Tologu berasal dari  rago atau semacam bola yang berada dekat gagang pedang nya. Rago itu biasanya terbuat dari kuku atau taring binatang buas seperti harimau, singa atau buaya yang di  bentuk menyerupai bola. Ada juga yang hanya menggunakan rotan. Rago atau bola yang berada dekat gagang pedang itu diyakini dapat menyalurkan kekuatan magis kepada si pemilik pedang.  Untuk menambah kesan keperkasaan, keberingasan, dan kekuatan pedang Tologu, pada bagian gagang atau tangkai pedang di beri ukiran yang berbentuk kepala monster.
3. Toho

Toho adalah senjata Tradisional nias yang berbentuk tombak. Dahulu Toho adalah senjata utama para prajurit nias atau pasangan sejati dari Baluse, sama seperti prajurit-prajurit perang yang ada di televisi. Pada masa sekarang toho masih menjadi senjata khas nias yang tetap digunakan untuk keperluan berburu atau melindungi diri ketika pergi ke hutan.
4. Gari si so rago
Gari adalah senjata Tradisional nias yang mirip dengan Golok atau pedang. Pedang Gari si so rago biasanya hanya di miliki keluarga bangsawan atau si Ulu. Pedang gari si so rago adalah lambang kebesaran atau telah dewasanya keturunan dari siulu sehingga dia berhak untuk memilikinya.
5. Tali baracu
Tali baracu adalah sebuah senjata Tradisional yang berbentuk cambuk. Cambuk tali baracu di yakini sangat mematikan karena telah dibaluri dengan racun binatang yang berbisa, seperti ular, kalajengking, atau semacamnya.

Makanan Khas Kluet yang Terlupakan
Dalam komunitas masyarakat Aceh, etnis Kluet di Aceh Selatan bukan satu-satunya yang memiliki bahasa tersendiri. Masih ada etnis lain seperti Gayo di Aceh Tengah dengan ba­hasa Gayonya. Tetapi etnis yang berada di empat keca­matan dengan penu­tur bahasa asli di pedala­man Aceh Selatan itu sekitar 60.000-80.000 jiwa, me­miliki banyak jenis makanan khas yang belum tentu ditemui di pergau­lan etnis lain. Khususnya lagi di pedalaman Kluet itu sendiri yakni satu daerah yang terpencil di kawasan itu yakni Lawesawah (kini sudah dimekarkan lagi menjadi Desa Laweci­manok-red), memilik makanan yang spe­sifik mulai dari plong, kerabu, ma­jun dan rabee. Kecuali makanan lemang yang juga banyak dijumpai di daerah lain di Aceh atau bahkan di luar Aceh.
          lemang                                                                          rabee
Kini, makanan khas itu pun mulai langka, kecuali kerabu yang terdiri atas kerabu daging dan kerabu pucuk pangkat sera kerabu sayur pucuk paku. Sama halnya juga dengan ma­kanan khas jenis rabe daging yang biasanya hanya dijum­pai saat meugang (punggahan), menjelang puasa Ramadan.
Seiring dengan perkembangan zaman, lalu lintas warga menjadi urban karena tuntutan pekerjaan dan perkawinan antare­tnis, menjadikan makanan khas ini pun mulai jarang ditemukan. Apalagi, bahan bakunya berupa sayur paku dan pangkat (sejenis rotan-red) mulai langka dijumpai karena lahan dan hutan tempatnya tumbuh berubah menjadi areal kebun sawit dan lainnya. Makanan lemang yang mengguna­kan bambu muda untuk sarana memasaknya, kini sudah lang­ka karena hutan bambu sudah musnah dijadikan lahan sawit.
Bagi sebagian warga, makanan rabee masih menghiasi hi­dangan penganan pada waktu meugang. Padahal, sebelum tahun 1980-an, semua jenis makanan khas itu menjadi pe­nganan yang mentradisi, sehigga ada ungkapan tanpa rabee, plong , kerabu dan lemang tidak usah menjadi orang Kluet.
Kini, semua masakan itu, sudah semakin langka dan men­jadi peleng­kap bagi kehidu­pan masyarakat Kluet. Apalagi plong yang masa­kannya tanpa dimasak, tetapi bahan ikan su­ngai (air tawar) yang menjadi bahan utamnya ditambah bumbu alamiah, sudah sejak lama tidak pernah terlihat lagi.
Beberapa Lagu  Suku  Kluet:
Mecanang
Aksi silek gelombang
Adat pernikahan
Landok sampot
Cerita Rakyat Dari Suku Kluet


Kluetrayanews.com - Toponimi selalu menarik untuk dibahas, banyak hal unik yang dapat diungkap dibalik penamaan suatu daerah.

Toponimi sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu istilah yang digunakan untuk bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya.

Dalam hal ini, toponimi Aceh Selatan merupakan salah satu daerah yang menyimpan banyak cerita yang hidup melalui tradisi lisan di sana. Terbangan dan Kluet menjadi topik yang akan dibahas untuk mengungkap asal usul dan penamaannya dalam kontek mitologi dan referensi ilmiah.

Terbangan, Desa Ladang Tuha Kemukiman Terbangan Kecamatan Pasie Raja merupakan salah satu daerah dalam Kabupaten Aceh Selatan, tepatnya 15 km sebelah selatan Kota Tapaktuan yaitu di kaki gunung terakhir dari Kecamatan Tapaktuan menuju kecamatan Pasie Raja.

Daerah ini berada dipesisir dengan pemandangan laut yang indah. Sedangkan Kluet adalah daerah pemukiman masyarakat etnis Kluet yang terdiri atas empat kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan.

Dalam beberapa kondisi, selain data sejarah, cerita rakyat dapat dijadikan acuan dalam mengkaji toponimi suatu daerah karena sedikit banyaknya keterangan dalam sejarah memiliki kesamaan dengan cerita rakyat.

Sebagaimana yang telah diketahui yaitu bahwa cerita rakyat merupakan cerita yang telah ada sejak zaman dahulu, bahkan cerita rakyat telah dimulai sejak manusia memiliki bahasa dan telah melintasi rentang waktu yang panjang. Cerita rakyat mengalami tranformasi dan regenerasi dari masa ke masa, karena cerita rakyat umumnya diwariskan melalui seni tutur atau tradisi lisan.
Untuk menganalisis toponimi Terbangan ini, simaklah Legenda Gunung Terbang yang menjadi asal-usul Kemukiman Terbangan berikut ini:

Legenda Gunung Terbangan

Dahulu Kala di Pesisir Selatan terdapat beberapa kerajaan kecil; diantaranya tersebutlah Kerajaan Sawang dan Kerajaan Kluet. Masing-masing kerajaan memiliki kesaktiannya selain fanatik dalam agamanya yang dalam hal ini adalah agama Islam.

Konon saat itu, Kerajaan Sawang memperingati haul atau hari jadinya. Untuk itu ditampilkan berbagai pertunjukan yang bersifat hiburan.

Pada perhelatan itu turut diundang Raja Kluet. Ia hadir memenuhi undangan didampingi beberapa orang pengawalnya.

Pada perhelatan itu pula Raja Kluet ditantang untuk bertaruh sabong manok (sabung ayam). Tantangan itu disambut baik oleh sang Raja Kluet. Bahkan sebelum berangkat ia telah melakukan persiapan, Raja Kluet memerintahkan kepada para pengawalnya agar mereka berbohong kepada Raja Sawang dengan mengatakan bahwa Raja Kluet membawa sebotol emas sebagai taruhan dalam sabong manok tersebut. Sedangkan Raja Sawang mempertaruhkan sebagian negeri kekuasaannya.

Dengan disaksikan oleh seluruh rakyat negeri Sawang, Sabong Manok antara Raja Kluet yang berambisi mendapatkan sebagian negeri di bawah Kekuasaan Kerajaan Sawang dengan Raja Sawang yang berambisi memenangkan sebotol emas, pun digelar.

Masing-masing pendukung bersorak-sorai untuk kemenangan ayam jagoannya yang tengah berlaga. Akhirnya ayam Raja Sawang keluar sebagai pemenangnya. Sebagaimana kesepakatan, Raja Sawang menagih sebotol emas yang telah dipertaruhkan.

Dengan perasaan sedih dan kecewa Raja Kluet mengajak Raja Sawang untuk mengambil emas tersebut yang katanya ia simpan atau ia timbun di dalam pasir di pantai dekat Krueng Sawang.

Dalam perjalanan menuju tempat penyimpanan sebotol emas tersebut, Raja Kluet berbisik kepada pengawalnya, “lari dan pulanglah kalian ke negeri kita, biarkan saya yang mati di sini, asalkan kalian selamat.”

Maka larilah para pengawal menyelamatkan diri. Setelah itu Raja Kluet pun lari ke arah berlawanan, yaitu menuju sebuah bukit dekat Krueng Sawang. Setibanya di puncak bukit itu, bertiuplah angin topan diiringi suara gemuruh.

Melihat suasana yang demikian itu Raja Kluet pun berdoa kepada Allah SWT, agar ia diselamatkan dari marabahaya. Doanya pun terkabul, bukit itu terangkat dan terbang ke arah Selatan, yaitu menuju Kerajaan Raja Kluet. Dalam perjalannya sebongkah batu besar jatuh di Desa Damar Tutong Kecamatan Samadua dan sampai saat ini diabadikan dengan nama Batee Tunggay yang berarti batu tunggal.

Bukit itu tiba diperbatasan kecamatan Tapaktuan yang artinya Sang Raja Kluet telah berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Kluet. Merasa dirinya aman maka turunlah ia dari bukit tersebut dan pulang ke kerajaan. Di sana ia telah ditunggu oleh para pengawalnya yang sejak awal telah meyakini bahwa rajanya akan dapat mengatasi masalahnya.

Namun tidak selesai sampai di situ, tentu saja pihak Kerajaan Sawang datang ke Kerajaan Kluet untuk menuntut haknya. Perselisihan pun tidak terhindarkan. Kerajaan Sawang menunjukkan pertentangannya dengan Kerajaan Kluet.

Analisis Toponimi

Legenda di atas menunjukkan bahwa ada gunung yang terbang. Ini menyiratkan bahwa wilayah yang dikenal dengan terbangan dahulunya tidak memiliki gunung yang sekarang dilalui oleh masyarakat dari Pasie Raja menuju Tapaktuan. Gunung itu ada karena berpindahnya gunung dari Sawang. Gunung yang terbang untuk menyelamatkan jiwa Raja Kluet dari kejaran Raja Sawang.

Cerita yang berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Pasie Raja ini menunjukkan adanya konflik yang melatarbelakangi bentukan alam yang kemudian menjadi salah satu wilayah di daerah tersebut. Sudah menjadi karakteristik sebuah legenda yaitu bahwa cerita legenda tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Legenda ini pula yang menjadi dasar asal-usul Desa Terbangan yang memiliki potensi wisata pantai yang indah.

Tanoh Kluwat atau akrap di sapa sekarang Kluet
Terbangan adalah wilayah timur terluar kekuasaan kerajaan Kluet pada masa itu. Menurut Bukhari dkk dalam bukunya berjudul Kluet dalam Bayang-Bayang Sejarah, Kerajaan Kluet itu diperkirakan sudah ada sejak Abad I Masehi.

Akan tetapi kerajaan tersebut dikenal dengan nama Kerajaan Laut Bangko. Puing-puing bekas kerajaan tersebut masih ada di sekitar Danau Laut Bangko di Belantara Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di bagian barat dari kawasan perbatasan Kecamatan Bakongan dengan Kecamatan Kluet Timur, sekarang. Disebutkan pula di buku tersebut bahwa Kluet pernah menjadi kerajaan Megah.

Raja terakhirnya bernama Malinda dengan permaisuri bernama Rindi.

Kerajaan Laut Bangko itu karam oleh banjir besar. Satu versi cerita rakyat menyebutkan bahwa ketika Raja Malinda meninggal dunia, permaisuri menangis tiada habisnya meratapi kematian suaminya.

Airmatanyalah yang menenggelamkan Kerajaan Laut Bangko. Versi lainnya, Kerajaan Laut Bangko memang tenggelam karena banjir besar. Sebagian besar rakyatnya ikut karam di sana, sebagian kecil lainnya bertahan hidup dan selamat hingga daratan yang kebetulan saat hanyut dapat meraih batang cebero (gelagah), deski (sangar), dan lain-lain sebagai pelampung, mengapung dibawa arus. 

Mereka yang selamat selanjutnya melakukan pengembaraan untuk mendapatkan tempat pemukiman untuk menetap di tempat yang baru.[5] Mereka menjadi masyarakat nomaden hingga tiba ke tanah Karo, Alas, Singkil dan Kluet sekarang. Secara geografis, keempat daerah tersebut memang berbatasan dengan lokasi Laut Bangko.

Di Tanah Alas, masyarakat memiliki kisah Kerajaan Laut Bangko dalam versi yang berbeda. Zainuddin dalam bukunya berjudul Tarich Atjeh dan Nusantara menyebutkan bahwa pada tanggal 7 Januari 1960 beliau bertemu Abdul Samad gelar penghulu Tebing Datar Tanah Alas yang berusia 75 tahun. Penghulu tersebut menceritakan bahwa pada zaman purbakala ada seorang Raja di Negeri Kluet Aceh Selatan, beranak 7 orang anak laki-laki dan memelihara seekor anjing besar.
Setelah ayah mereka meninggal, anak tertua menginginkan menjadi raja menggantikan ayahnya, tetapi tidak disetujui oleh adik-adiknya. Masing-masing mereka juga memiliki hasrat yang sama untuk memimpin kerajaan.

Akhirnya tibalah mereka pada satu kesimpulan yakni bahwa tidak satupun diantara mereka diangkat menjadi Raja. Maka anjing peliharaan ayahnyalah yang dinobatkan menjadi raja.

Saat akan dinobatkan, tiba tiba datanglah seorang aulia bertongkat, lalu dipancangkannya tongkatnya ke tanah. Ia menasehati agar jangan mengangkat anjing menjadi raja tapi hendaklah salah satu dari mereka. Keenam anak raja tetap tidak dapat menerima bila saudara tertua mereka dijadikan raja, mereka bahkan mengancam akan membunuh aulia tersebut.

Sang aulia hanya mengingatkan bahwa bila keinginan mereka tetap dilaksanakan maka kelak bencana besar akan melanda kerajaan mereka. Lalu sang Aulia mencabut tongkatnya dan menghilang diikuti badai dan air yang keluar deras dari lubang bekas tancapan tongkat sang aulia. 
Demikian kerasnya hingga memporak-porandakan dan menenggelamkan seluruh kerajaan. Di sana lah tempat yang kini dikenal dengan nama Laut Bangko. Sebagian rakyat yang sempat menyelamatkan diri mencari daratan baru, mereka lari hingga ke Singkil, Karo, Dairi, Bakhara, Alas dan lain-lain.


FILE DOC : DISINI 

Comments

Popular posts from this blog

KLIPING BUDIDAYA 6 HEWAN KESAYANGAN

46 Macam-Macam Profesi & Pekerjaan dan Tugasnya DALAM BAHASA INGGRIS DAN ARTINYA LENGKAP

FILE DOC SUKU SAMIN rumah adat , makanan, lagu , tari , cerita rakyat